Kekristenan mulai dikenal di Tanah Malesung(nama Minahasa yang lebih tua) pada tahun 1563 oleh misi Portugis, di mana Pater Diego de Magelhaes, seorang pastor Gereja Katolik Roma membaptis Raja Manado, Raja Siau dan 1.500 rakyatnya. Selanjutnya dilanjutkan oleh misi Spanyol yang pada tahun 1645 meninggalkan Minahasa karena peperangan dengan orang Minahasa sehingga menghalangi misi, dengan ini menandai berakhirnya misi Katolik di Minahasa.[7]
Misi Belanda
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menggantikan kekuatan Portugis dan Spanyol di Minahasa, dan kehadiran para misionarisProtestan mendapat dukungan penuh. Tahun 1663 Ds. J. Burum, Ds. F. Dionisius dan Ds. I. Huisman datang ke Minahasa, membaptis anak-anak dan orang dewasa. Tahun 1675 Ds. Jacobus Montanus yang mengadakan perjalanan menuju daerah Tahuna mampir ke Manado. Pada 27 Desember 1799 VOC bangkrut sehingga wilayah perdagangannya diserahkan ke Pemerintah Belanda, hal ini menyebabkan terjadinya penghentian pekabaran Injil antara tahun 1800-1817.
Nederlandsch Zendeling Genoostschap
Nederlandsch Zendeling Genoostschap (NZG) yaitu Serikat Misionaris Negeri Belanda (berdiri 1797) memberi jasa yang besar dalam pekabaran Injil di Minahasa. Berawal pada tahun 1817 Ds. Joseph Kam mengunjungi Minahasa selama beberapa bulan melayani jemaat disana. Tahun 1819 Ds. Lenting ke Amurang yang kemudian disusul Ds. Jungmichel. Pada 3 Juni 1822 dua pekabar Injil tiba di Minahasa yaitu Ds. L. Lammers ke Kema dan Ds. D. Müller ke Manado namun usaha keduanya tidak berlangsung lama karena meninggal. Pada 7 Januari 1827 Ds. Gerrit Jan Hellendorn datang menggantikan mereka, ia melayani pedalaman Minahasa dan mendirikan beberapa sekolah disana, sehingga pada masanya sudah ada 5.000 orang Kristen dan 70.000 belum. Karena perhatiannya yang sungguh-sungguh terhadap Injil dan pendidikan membuat ia dikenal sebagai peletak dasar kekristenan di Minahasa. Ia kemudian meminta bantuan tenaga kepada NZG, yang kemudian mengirim dua misionaris untuk memperkuat misi di Minahasa yaitu Ds. Johann Friedrich Riedel ke Tondano dan Ds. Johann Gottlieb Schwarz ke Langowan serta daerah sekitarnya, mereka tiba di Minahasa pada 12 Juni 1831 (tanggal ini diperingati oleh GMIM sebagai Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Tanah Minahasa). Kemudian pada tahun-tahun berikutnya disusul para misionaris lainnya untuk bekerja di ressort-ressort NZG di Minahasa. Memasuki abad ke-20, NZG menyerahkan pelayanan penginjilan di Minahasa kepada Indische Kerk.
Indische Kerk
Sejarah GMIM tidak dapat dipisahkan dari pembentukan de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie atau Indische Kerk (sekarang dikenal sebagai Gereja Protestan di Indonesia) yang pada 27 Februari 1605 melaksanakan ibadah untuk pertama kalinya di Benteng Victoria Ambon. Tahun 1619 pusat Indische Kerk dipindahkan ke Batavia sehubungan dengan berpindahnya pusat pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari Ambon ke Batavia. Indische Kerk mewarisi jemaat-jemaat yang ditinggalkan oleh Portugis, Spanyol serta karya Belanda dengan wilayah pelayanan meliputi Maluku, Minahasa, Kepulauan Sunda Kecil, serta Sulawesi, Jawa, Sumatera dan lainnya. Karena wilayah pelayanan semakin meluas, maka wilayah-wilayah Indische Kerk mengalami berbagai persoalan. Pada tahun 1927 disepakati bahwa keesaan gereja harus tetap dipertahankan, namun wilayah yang memiliki kekhususan diberi status mandiri yang lebih luas untuk mengatur pelayanannya secara sendiri-sendiri.[6]
Pembentukan GMIM
Dalam Sidang Sinode de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie tahun 1933, jemaat di Minahasa, Maluku dan Timor diberikan wewenang untuk menjadi Gereja Bagian Mandiri (GBM) dalam persekutuan Indische Kerk. Berdasarkan keputusan itu maka pada Minggu, 30 September 1934 dalam Ibadah Jemaat di Sion Kerk te Tomohon (sekarang GMIM Sion Tomohon), dilembagakanlah gereja mandiri pertama de Minahassische Protestantsche Kerk (Geredja Masehi Indjili di Minahasa) dan pada malam hari dilangsungkan perayaan Perjamuan Kudus yang pertama oleh Sinode yang mandiri di Groote Kerk te Manado (sekarang GMIM Sentrum Manado). Tata Gereja dan Peraturan Gereja dipersembahkan oleh Proto Sinode kepada Algemene Moderamen de Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie (Badan Pekerja Am Gereja Protestan di Indonesia).
Peresmian GMIM pada tanggal 30 September 1934 turut dihadiri oleh B.C. de Jonge yang merupakan Gubernur Jendral Hindia Belanda. Dalam sambutannya, ia menutupnya dengan suatu harapan.
Bahasa Indonesia
"Saya kuncikan ini dengan suatu pengharapan, kiranya berkat Tuhan dilimpahkan atas pendirian Gereja Minahasa, untuk menjadi keselamatan bagimu dan bangsamu."
Bahasa Belanda
"Ik eindig met den wensch, dat de stichting van de Minahassa-kerk onder Gods zegen moge strekken tot heil van U en Uw volk."
Adapun nyanyian pertama yang dikumandangkan dalam kebaktian pertama GMIM diambil dari Gezang 164 vers 1Een Veste Burg (Tahlil 264 ayat 1 Seboeah Kota Allah Hoe) karya Martin Luther. Nyanyian ini pada tahun 1984 kembali dimuat dalam Kidung Jemaat 280 dengan judul Allahmu Benteng yang Teguh.
Sebelum GMIM mandiri dan bersinode sendiri, pada zaman Indische Kerk pekabaran Injil ke luar terus berlanjut hingga ke Sumatera. Pada 1890 Ds. H. C. Kruyt datang ke Tanah Karo membawa serta Guru-guru Injil Minahasa yaitu empat pasang suami isteri, mereka adalah Benyamin Wenas dan Suzana, Johan Pinontoan dan Penina, Richard Tampenawas dan Sarah, Hendrik Pesik dan Mintje untuk berkarya di Tanah Karo menjadi cikal bakal lahirnya Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Setelah GMIM bersinode sendiri, dalam usaha pekabaran Injil mengutus Ds. Tumbelaka untuk berkarya di Tanah Banggai menjadi cikal bakal lahirnya Gereja Kristen di Luwuk Banggai (GKLB). Usaha pekabaran Injil ini terus berlanjut yang kemudian berkembang dalam bentuk kemitraan dengan gereja-gereja di Indonesia.[8][6]
Dalam menata dan mengembangkan panggilan dan pengutusannya, GMIM disusun berdasarkan sistem pemerintahan Presbiterial Sinodal yang dijalankan oleh para Pelayan Khusus (Pelsus) yaitu Pendeta, Guru Agama, Penatua dan Diaken. Kepemimpinan gereja terdiri dari tiga lingkup pelayanan, yaitu:
Sinode adalah lingkup pelayanan yang paling luas dan terdiri dari seluruh Wilayah dan Jemaat, serta dipimpin oleh Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS).
Wilayah adalah lingkup pelayanan yang terdiri dari beberapa Jemaat di suatu wilayah tertentu, serta dipimpin oleh Badan Pekerja Majelis Wilayah (BPMW).
Jemaat adalah lingkup pelayanan yang paling dasar dan ditata ke dalam wilayah-wilayah pelayanan yang terdiri dari beberapa kepala keluarga yang disebut Kolom, serta dipimpin oleh Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ).
Pengakuan Iman Gereja
GMIM bersama dengan Gereja di segala abad dan tempat mengikrarkan Pengakuan Imannya dalam:
20 Daun Ranting pada kaki Manguni ditambah 10 Kelopak Mawar pada jantung Manguni melambangkan Tanggal 30 peresmian GMIM.
9 Helai Sayap pada bagian luar melambangkan Bulan September peresmian GMIM.
34 Helai Sayap (jumlah keseluruhan) melambangkan Tahun 1934 peresmian GMIM.
10 Ranting pada kaki Manguni melambangkan 10 Klasis saat GMIM berdiri sendiri, yaitu: Manado (Pribumi dan Belanda), Maumbi, Tomohon, Tondano, Langowan, Sonder, Ratahan, Amurang, Motoling dan Airmadidi.
6 Tombak yang menyerupai ekor Manguni melambangkan 6 Distrik di Minahasa saat GMIM berdiri sendiri, yaitu: Manado, Tonsea, Toulour, Kawangkoan, Amurang dan Ratahan.
Mawar melambangkan Reformasi, menyatakan bahwa Yesus Kristus sebagai Pokok Pembaharu Gereja. Simbol ini telah digunakan dalam Gereja Reformasi sejak abad ke-16.
Bumi berwarna Biru yang melingkari Mawar melambangkan bahwa sebagai Gereja, GMIM diutus ke dalam dunia.
Salib berwarna Hitam dan Hati berwarna Merah melambangkan pengorbanan Kristus yang menjiwai persekutuan, kesaksian dan pelayanan GMIM.
Warna Cokelat melambangkan dewasa dan mandiri, yang mencirikan kehidupan berjemaat dalam GMIM.
Warna Biru melambangkan bahwa GMIM akan tetap menghadapi pergumulan.
Warna Putih melambangkan kekudusan dan kebenaran Injil Yesus Kristus.
Warna Hitam melambangkan solidaritas sampai akhir.